8/29/2010

Prestasi Terbatas

Gw sempat berpikir, kadang-kadang pihak sekolah keenakan loh, dalam urusan prestasi. Sebagai contoh, alkisah sebuah sekolah dikenal karena seorang dua orang muridnya memenangkan kontes menyanyi berkali-kali. Secara selintas, respon yang kita tangkap, "Wah sekolahnya keren banget. Bisa buat orang pinter menyanyi." atau "Aaah, kalau sekolah itu mah nggak heran, kekuatan paduan suaranya emang dari dulu bagus."

Namun, terkadang luput dari perhatian umum bahwa MUNGKIN SEBENARNYA prestasi yang diraih oleh murid itu bukan berkat bimbingan dari pihak sekolah. Bahwa MUNGKIN si murid tersebut memang sudah memiliki talenta dari awal, jauh sebelum dia memasuki sekolah tersebut. Bahwa MUNGKIN talenta yang dikembangkan oleh si murid tadi berkat usaha keras pribadi yang tak kenal lelah untuk senantiasa berlatih dan memperbaiki diri. Bahwa MUNGKIN yang menjadi kontributor utama perkembangan si murid ada pada kursus-kursus tempat dia bernaung, atau secara gamblang, prestasi karena kerja kerasnya sendiri. Sehingga, dapat dikatakan secara kasar bahwa sebuah sekolah itu justru beruntung menerima murid yang bertalenta.

Melalui tulisan ini saya tidak bermaksud untuk mencemarkan nama baik instansi manapun. Hanya saja, sejalan dengan cerita keluh kesah anak-anak sekolah atau bahkan hingga anak kuliahan pun, masalah pendanaan lomba rutin mendapat perhatian. Ada dua hal utama yang menjadi perhatian yaitu mengenai terbatasnya pengelolaan sumber daya murid dan luputnya perhatian sekolah untuk berinvestasi melalui keikutsertaan murid-muridnya dalam pelbagai lomba.

Keterbatasan dana selalu menjadi kendala mengapa mentor-mentor yang sangat berkompeten untuk melatih sebuah klub ekstrakulikuler (ekskul) tidak direkrut untuk membina tunas-tunas berpotensi. Ada juga kasus dimana sebenarnya kemajuan kelompok ekskul tersebut berkat satu-dua orang yang menonjol (yang notabene murid maupun alumni sekolah itu sendiri) yang memiliki intuisi dan inisiatif yang luar biasa untuk menata teman-temannya sehingga dapat berprestasi. Seandainya dibantu guru pun, kesempatannya akan sangat kecil karena waktu guru terbatas untuk membagi antara keluarga, materi pengajaran, dan urusan sekolah lainnya. Namun, ketika anak-anak minim binaan resmi tersebut berprestasi, sekolah tersebut turut menuai hasilnya dan kecipratan keharuman kejayaannya (atau dalam istilah sebagian orang; "mendompleng").

Banyak kesan ditujukan kepada sekolah-sekolah yang seolah-olah menganaktirikan pengajuan bantuan dana lomba-lomba nonilmiah. Seolah-olah olimpiade-olimpiade ilmiah itu lebih tinggi martabatnya dari lomba-lomba debat, newscasting, atau menari daerah, dst. Padahal, melalui lomba debat misalnya, seorang peserta dituntut untuk berpikir secara global dan kritis; sebuah soft skill yang belum tentu dimiliki oleh setiap orang.

Dipihak lain, memang murid pun tidak bisa terus-terusan mengajukan dana untuk mengikuti perlombaan, tetapi jika mereka dapat membuktikannya dengan prestasi akademik yang menunjang rasanya tak jadi masalah.
Sebagai sesorang yang seneng ikutan kegiatan debat-debat (english debating tourneys) sangat terasa suasananya dimana kehadiran atau alfanya instansi dalam perlombaan itu memunculkan prestise tersendiri. Sudah selayaknya sekolah (maupun universitas) menginvestasikan dana yang cukup untuk pendanaan perlombaan, karena terbukti menjadi produk promosi yang baik. Toh, pada akhirnya buahnya dapat dipetik oleh pihak sekolah juga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar